Menurut Hans Koln, Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sedangkan menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, Nasionalisme berarti paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan maju dalam satu kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna mencapai, memelihara dan mengabdi identitas, persatuan, kemakmuran, dan kekuatan atau kekuasaan negara bangsa yang bersangkutan.[1]
Nasionalisme pemuda Indonesia mulai tumbuh dengan ditandai berdirinya perkumpulan Budi Utomo pada tahun 1908. Budi Utomo manjadi stimulus berdirinya perkumpulan-perkumpulan lain di berbagai daerah. Seperti Jong Java, Jong Sumatera dan lain sebagainya. Perkumpulan tersebut bertujuan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, diikrarkannya Sumpah Pemuda pada Kongres II. Sumpah tersebut mampu membakar semnagat para pemuda dan semakin menegaskan bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Jiwa pemuda yang tidak dipengaruhi oleh tendensi apapun mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara yang merdeka.
Tetapi sekarang, nasionalisme pemuda Indonesia hanya bersifat simbolik. Rasa kepemilikan terhadap bangsa dan negaranya semakin hilang dari diri pemuda. Mereka semakin apatis terhadap keadaan bangsanya. Ada banyak factor yang melatar belakangi bergesernya nasionalisme pemuda. Fenomena tersebut mendorong kami mengangkat tema “Menggugat Nasionalisme Pemuda”.
2.1. Nasionalisme Pemuda sebelum Reformasi
Rasa cinta terhadap bangsanya sendiri sebelum masa reformasi seakan-akan telah terpatri dalam hati setiap pemuda Indonesia. Mereka rela berjuang dengan segenap jiwa dan raga untuk membela negeri tercinta. Hal tersebut dapat dilihat dari masa pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, Mereka selalu ada dan ikut berperan aktif di dalamnya. Peristiwa sejarah yang mencatat peranan pemuda, antara lain:
a. Indonesia sebelum kemerdekaan
Kemerdekaan merupakan cita-cita setiap elemen masyarakat. Begitupun dengan pemuda. Mereka menginginkan agar kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan rakyat Indonesia sendiri bukan hadiah dari Jepang. Bentuk realisasinya, mereka berjuang dibidang militer baik itu legal maupun illegal. Contohnya Angkatan Muda Indonesia (AMI), Gerakan Angkatan Baru Indonesia, Gerakan Rakyat Baru dan lain sebagainya.
b. Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945
Peristiwa tersebut tidak lepas dari peranan para pemuda. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu sehingga terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia. Situasi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh para pemuda. Mereka langsung mengadakan rapat di Laboratorium Bakteriologi, Jalan Pegangsaan Tiur No. 13 Jakarta di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Hasil dari rapat bahwa Bangsa Indonesia harus secepatnya memproklamirkan diri sebagai negara merdeka bukan menunggu pemberian dari Jepang.
Para pemuda sangat menyadari bahwa keinginannya untuk memproklamirkan Indonesia menjadi negara merdeka tidak akan terlaksana tanpa dukungan dari golongan tua, khusunya Soekarno dan Hatta. Kemudian mereka menyampaikan keinginannya kepada golingan tua. Tetapi sayangnya rencana tersebut ditolak.
Atas penolakan tersebut, para pemuda bersepakat akan mengasingkan Soekarno-Hatta ke Garnisun Peta di Rengasdengklok. Tujuannya agar mereka jauh dari pengaruh Jepang. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta diasingkan dan keesokan harinya mereka bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
c. Mempertahankan Kemerdekaan
Euforia Revolusi[2] seketika melanda negeri ini. Para pemuda langsung melakukan aksi melucuti persenjataan Jepang dan mengambil alih instansi-instansi pemerintah jajahan. aksi tersebut hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Seperti yang terjadi antara tanggal 3 dan 11 September, para pemuda Jakarta mengambil alih kekuasaan atas stasiun-stasiun kereta api, sistem trem listrik, dan stasiun pemancar radio. Pada akhir bulan September, instansi-instansi penting di Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Bandung juga sudah berada ditangan para pemuda.
Euforia Revolusi juga terjadi di dunia kesusastraan dan kesenian. pada masa ini lahirlah sastrawan angkatan ’45. Mereka adalah penyair Chairil Anwar, penulis prosa Pramoedya Ananta Toer dan wartawan Mochtar Lubis[3].
Saat pasukan sekutu datang dengan memboncengi NICA yang ingin berkuasa kembali di Indonesia, para pemuda lah yang maju di barisan depan untuk menghalau mereka. Misalnya dalam Peristiwa Bandung Lautan Api, pertempuran Medan Area, Peristiwa Palagan Ambarawa dan lain sebagainya,
d. Orde Baru
Akhir pemerintahan Orde Baru ditutup dengan serentetan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Aksi tersebut sebagai bentuk protes atas kinerja pemerintah yang hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan juga budaya KKN yang semakin menjamur. Tetapi melupakan nasib rakyat.
Puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 demonstrasi di Universitas Trisakti Jakarta memakan korban jiwa. Empat mahasiswa tertembak. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana dan Hafidin Royan. Peristiwa tersebut semakin menguatnya keinginan rakyat agar presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden RI dan menyerahkan jabatan presiden kepada wakil Presiden B.J. Habibie.
Peristiwa di atas sebagai bukti dari nasionalisme pemuda Indonesia. Jiwa pemuda yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya. sehingga mampu mempertahankan keutuhan kesatuan negaranya.
2.2.Nasionalisme Pemuda Pasca Reformasi
Nasionalisme pemuda pasca reformasi telah bergeser jauh dari tempatnya. Dulu para pemuda Indonesia dengan jiwa yang bersih menginginkan Bangsa Indonesia manjadi negara maju dan mandiri. Tetapi sekarang nasionalisme pemuda hanya bersifat simbolik. Pemuda tidak memiliki kecintaan terhadap negaranya sendiri. Nasionalisme hanya terihat dari luarnya saja, di dalamnya begitu rapuh. Misalnya pada saat timnas tengah berlaga dan juga peringatan HUT Kemerdekan RI yang tidak berbekas dalam diri setiap pemuda setelah selesai ritualnya. Tetapi melihat pulau Sipadan dan Ligitan diminta paksa oleh Negara tetangga, pemuda tidak tergerak.
Padahal pemuda adalah sosok yang selalu menjadi ujung tombak dari suatu negara. Apalagi Indonesia, jumlah populasi pemuda yang paling besar. Secara tidak langsung, pemuda menjadi tumpuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam visi pembangunan nasional 2000-2025 (UU no 17 Tahun 2007) kondisi Indonesia di masa depan digambarkan sebagai “Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur” dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UU Negara RI 1945.[4] Untuk merealisasikan visi tersebut, diperlukan peranan pemuda. Dalam hal ini, pemuda diharapkan memiliki kualifikasi menjadi “potential leader[5]” di masa depan, khususnya sebagai “driving force[6]” pembangunan nasional.
Cara untuk mewujudkan visi tersebut adalah dengan membangun karakter bangsa. Seperi yang diketahui, generasi muda sedang mengalami degradasi moral. Mereka tidak lagi memiliki kebanggaan terhadap negaranya sendiri. Tetapi lebih menonjolkan sikap primordialisme. Sehingga rentan terjadi disintegrasi. Jika hal tersebut dibiarkan Bangsa Indonesia tinggal menunggu waktu kehancurannya. Karena itu pembangunan karakter bangsa sangat diperlukan.
Pemuda merupakan agent of change. Menurut Adhita Johan Rahmadan sosok seorang pemuda seharusnya sebagai berikut.
Kaum muda dituntut untuk menyiapkan dirinya dengan segenap kemampuan. Kemampuan konsep yang dicerminkan oleh intelektualitas dan kemampuan riset, kompetensi di berbagai bidang (life skills and technical skills), kemampuan membangun jejaring (nasional dan internasional), serta kepercayaan diri untuk memimpin perubahan.
Predikat tersebut seharusnya dipahami oleh setiap pemuda agar mereka dapat meneruskan cita-cita dari para pendiri bangsa ini. Untuk itu, pemuda diharapkan dapat bersikap sebagai inisiator, motivator, dan organisator untuk melakukan perubahan[7]. Karena sesungguhnya pemuda memiliki peranan yang signifikan dalam pembangunan. Jika pemuda Indonesia masih bersikap seperti saat ini, Ibu Pertiwi akan tetap menangis.
Negara Indonesia tidak selamanya tetap bergantung pada golongan tua saja. Sirkulasi kepemimpinan akan tetap berlanjut karena itu sudah merupakan hukum alam. Sehingga pemuda harus mengetahui kriteria menjadi pemimpin yang mumpuni. Mengutip Elwin Tobing (Melalui Adhita Johan Rahmadan
: 2009), sedikitnya terdapat beberapa tanggung jawab yang harus diemban oleh siapapun yang mengklaim dirinya akan menjadi pemimpin nasional. Pertama, meneruskan komitmen terhadap perjuangan moral. Kedua, melanjutkan dan meningkatkan kualitas reformasi, karena reformasi sudah mulai mengalami pergerseran. Ketiga, mewujudkan kegemilangan masa depan atas masa lalu. Masa lalu bangsa ini ditandai dengan mismanagement sumberdaya alam dan manusia. Keempat, mewujudkan apa yang menjadi tuntutan rakyat. Selama beberapa dekade, rakyat telah menyaksikan banyak individu yang melakukan penyimpangan baik di bidang ekonomi, politik dan hukum.
: 2009), sedikitnya terdapat beberapa tanggung jawab yang harus diemban oleh siapapun yang mengklaim dirinya akan menjadi pemimpin nasional. Pertama, meneruskan komitmen terhadap perjuangan moral. Kedua, melanjutkan dan meningkatkan kualitas reformasi, karena reformasi sudah mulai mengalami pergerseran. Ketiga, mewujudkan kegemilangan masa depan atas masa lalu. Masa lalu bangsa ini ditandai dengan mismanagement sumberdaya alam dan manusia. Keempat, mewujudkan apa yang menjadi tuntutan rakyat. Selama beberapa dekade, rakyat telah menyaksikan banyak individu yang melakukan penyimpangan baik di bidang ekonomi, politik dan hukum.
Begitu pentingnya peranan pemuda dalam membangun bangsa diharapkan kesadaran akan kebangsaan cepat tumbuh. Negara Indonesia pun menjadi negara yang kuat, baik itu dari dalam maupun dari luar. Sehingga amanah dari para pendiri negeri ini dapat terjaga dan dijalankan dengan baik.
[1] Adhyatma, Aditya. 2011. “Nasionalisme Simbolik”. Diakses dari http://omjinadit.blogspot.com pada 10 Desember 2011.
[2] Ricklefs, M.C, 2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, hlm. 451.
[3] Ibid., hlm. 452
[4] Muladi, 2009, “Indonesia Masa Depan” dalam Dialog Pemuda dalam Membangun Bangsa 80 Tahun Sumpah Pemuda (Ed. Zulkifli Akbar, Karsono, dan Budiyanto), Jakarta: Kemenpora.hlm. 87
[5] Ibid., hlm. 92
[6] Ibid.,
[7] Adhyatma, Aditya, 2011, “Nasionalisme Simbolik”, Diakses dari http://omjinadit.blogspot.com pada 10 Desember 2011.
0 komentar:
Posting Komentar