Candi Panataran


A.    Deskripsi Objek
a)      Letak
Candi Panataran merupakan satu-satunya candi terluas di kawasan Jawa Timur. Lokasinya terletak di desa Panataran, kecamatan Nglegok, Blitar. Tepatnya di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut. Untuk sampai di lokasi percandian  dapat ditempuh dari pusat kota Blitar ke utara yaitu ke jurusan makam Proklamator Bung Karno. Jarak antara kota dan sampai lokasi diperkirakan 12 Km. Apabila ditempuh dari kota Blitar, setelah mencapai 10 Km, setelah sampai di pasar desa Nglegok, kemudian diteruskan sampai pasar Panataran kemudian belok kiri menuju ke percandian. Dari pertigaan pasar Panataran sampai ke lokasi hanya tinggal 300 meteran.
Bagi pengunjung yang datang dari Malang dapat ditempuh lewat pertigaan desa Garum kemudian belok kanan sejauh lebih kurang 5 Km sudah sampai di lokasi percandian. Pengunjung candi Panataran tergolong tinggi. Setiap hari bisa dikatakan Candi Panataran tidak pernah sepi dari pengunjung. Menurut catatan jumlah pengunjung rata-rata dalam satu bulan mencapai sekitar 20.000 sampai 25.000 orang. Itu merupakan suatu jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan pengunjung candi yang lain. Setiap wisatawan seperti diwajibkan untuk mampir ke Candi Panataran. Mereka tertarik dengan kekunaan dari candinya sendiri, yang bisa menjadi obyek pemotretan, sumber inspirasi bagi para seniman dan sebagai lahan bagi para pedagang kecil untuk menjajakan makanan atau cindera mata penitipan kendaraan maupun pemandu wisata hingga biro transportasi.
        Candi Panataran termasuk dalam monument mati (dead monument) artinya tidak ada kaitannya lagi dengan kepercayaan yang dianut masyarakat dewasa ini. Bangunan candi tidak berfungsi lagi sebagai tempat ibadah atau sebagai tempat semedi melainkan sebagai tempat wisata. Para pengnjung yang datang dalam rangka menikmati seni dan budaya dari kekunoan  dan ilmu pengetahuan. Kini 800 tahun lebih telah berlalu, komplek percandian Penataran masih tegak berdiri di tempat semula dengan penuh keanggunan dan kemegahan. Siap menanti kunjungan wisatawan setiap saat.
b)      Bagian-bagian Candi Panataran
Menurut catatan bangunan candi Panataran menempati areal tanah seluas 12.946 m2 berjajar dari barat laut ke timur kemudian berlanjut ke tenggara. Seluruh halaman komplek percandian kecuali yang bagian tenggara di bagi menjadi tiga bagian, yang dipisahkan oleh dua dinding. Untuk lebih mudahnya dalam memahami kompek Candi Panataran, bagian-bagian dari Candi Panataran disebut halaman A, halaman B, dan halaman C.
Susunan dari komplek Candi Panataran yang sangat unik dan tidak terlihat harmonis ini mengambarkan bahwa dahulu pembuatan candi tidak dalam satu periode. Seperti yang telah dijelaskan di bagian atas bahwa Candi Panataran dibangun oleh dua dinasti yang bermusuhan, yaitu dari wangsa Isyana beralih ke wangsa Rajasa.  Berikut bagian-bagian dari Candi Panataran:
1.   Halaman A
Masuk kedalam halaman A, yang sebelumnya dengan diawali dengan menuruni undakan, para pengunjug disambut oleh dua buah arca penjaga pintu (Dwaraphala) yang berangka tahun 1242 Ç atau 1320 Masehi terpahat dalam arca, masyarakat setempat menyebutnya “Reco Pentung”
Berdasarkan pahatan angka tahun yang ada pada kedua lapik arca tersebut, para sarjana menyimpulkan bahwa bangunan Candi Palah (nama asli Candi Panataran) baru diresmikan menjadi Negara (state temple) pada masa pemerintahannya Raja Jayanegara dari Majapahit, meskipun masih berstatus dharma lepas.[1] Di sebelah timur kedua aca tersebut terdapat sisa-sisa pintu gerbang yang terbuat dari batu bata merah. 



a)      Bale Agung
Melalui bekas pintu gerbang, sampailah pada  bagian terdepan dari Candi Pantaran, Bale Agung. Lokasi bangunan tersebut terletak di bagian barat laut halaman A, posisinya sedikit menjorok ke depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu, didingnya masih polos dan memiliki empat buah tangga, dua buah terletak di sisi tenggara, sehingga bangunan ini terkesan menghadap tenggara. Sedangkan dua buah yang lain terletak di sisi timur laut dan barat daya terkesan sebagai tangga ke pintu samping.Pada diding utara dan selatan terdapat dua buah tangga masuk yang membagi dinding sisi timur menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan Bale Agung dililit oleh ular naga. Kepala ular naga tersembul di bagian kanan dan kiri bangunan. Masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca mahakala.
Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Di atas ada pelataran yang di masing-masing sudutnya ada umpak-umpak batu yang diperkirakan sebagai penumpu tiang-tiang kayu yang digunakan untuk atap bangunan. Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau pendanda.

b)         Pendopo Teras
Lokasi bangunan terletak di sebelah tenggara bangunan Bale Agung. Pendopo Teras seluruhnya terdiri dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 29,05 m x 9,22 m x 1,5 m. Diperkirakan Pendopo Teras digunakan sebagai tempat untuk menaruh sesaji dalam rangka upacara keagamaan atau tempat peristirahatan raja dan bangsawan lainnya.
Pada sisi barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian timur. Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri  dan kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil bersayap dengan lutut kaki ditekuk pada satu kakinya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi tangga bagian yang berbentuk ukel besar berhias tumpal yang indah. Bangunan pendopo berangka tahun 1297 Ç atau 1375 Masehi. Letak pahatan tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasinya berada di pelipit bagian atas dinding sisi timur. Seperti pada Bale Agung, Pendopo Teras juga dililit teras ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul.
Pada dinding Pendopo Teras terdapat relief-relief yang menceritakan kisah tentang Bubuksah-Gagang Aking yang di dalam ceritera rakyat dikenal Syeh Bela-belu dan Syeh Dami aking, Sang Setyawan dan Sri Tanjung. Ceritanya seperti ini, Bhuksa digambarkan sebagai sesosok makhluk yang berbadan besar, suka memakan apapun, ikhlas dan tidak pernah tidur. Sedangkan Gagang aking, kurus kering, suka berpuasa dan juga suka tidur. Suatu Dewa Syiwa berubah menjadi macan putih guna menguji kedua orang tersebut. Tanggapan dari Gagang Aking ” saya orangnya kurus, jangan makan saya tetapi makan teman saya saja” sedangkan Bhuksa ”silahkan makan saya saja”. Dalam ujian tersebut Bhuksa lulus dan ia kemudian masuk Surga. Hikmah yang bisa dipetik dari kisah tersebut yakni manusia harus Ikhlas dalam menjalani hidup ini.
c)         Candi Angka Tahun
Candi Angka Tahun berangka tahun 1291 Ç atau 1369 Masehi. Masyarakat Jawa Timur lebih mengenalnya dengan Candi Brawijaya yang merupakan mascot Candi Panataran dan juga digunakan sebagai lambang kodam V Brawijaya. Terkadang ada juga yang menyebutnya Candi Ganesha karena di dalam bilik candinya terdapat sebuah arca Ganesha. Lokasi candi berada di sebelah tenggara bangunan pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meter.
Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada bentuk ukel besar dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Bagian dalam relung candi terdapat sebuah arca Ganesha dari batu dalam posisi duduk di atas padmasana. Di bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda sebagai tanda cap kerajaan.
Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain terdiri dari bagian-bagian yang disebut kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian tubuh candi, terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan kemudian mahkota bangunan yng berbentuk kubus. Pada bagian mahkota terdapat hiasan yang meriah dan pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu  yang di bagian atasnya terdapat kepala makhluk yang bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan atau juga bisa disebut singa atau harimau. Penempatan kepala kala di atas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk komplek percandian.
Di sekeliling bangunan ini  terdapat sisa-sisa tembok bata yang tinggal bagian dasarnya dengan pintu masuk di sisi barat laut. Bangunan-bangunan di halaman pertama ini seluruhnya terbuat dari batu andesit. Kecuali dua buah pondasi dari bata berdenah persegi panjang, terletak di sebelah timur laut candi angka tahun ini. Di sebelah kiri candi angka tahun terdapat arca wanita Rajapatni.
2.      Halaman B
Memasuki halaman kedua dari Candi Panataran ini, disambut oleh dua buah arca Dwaraphala dalam ukuran yang lebih kecil dibanding Dwaraphala pintu masuk candi. Seperti pada arca Dwaraphala di pintu masuk, Dwaraphala ini pun pada lapik arcanya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214 Ç atau 1319 Masehi, setahun lebih tua dibanding Dwaraphala di pintu masuk, juga di zaman Raja Jayanegara.
Halaman B terbagi menjadi dua bagian oleh tembok bata yang membujur arah percandian di tengah halaman. Tembok tersebut sekarang hanya tinggal pondasinya saja yang masih terlihat. Pada bagian timur laut ada enam buah sisa bangunan dari batu maupun dari bata. Tiga buah tinggal sisanya berupa pondasi dari bata, dua buah berupa batur dan sebuah lagi berupa candi tanpa penutup di atasnya. Batur pertama terbuat dari batu bercampur bata dengan ukuran lebih besar dibanding batur satunya yang khusus terbuat dari batu.
Di dalam halaman B terdapat Candi Naga yang hanya tersisa bagian kaki dan badan dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan disangga figur-figur atau tokoh-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah sebagai candrasengkala, masing-masing berada di sudut-sudut bangunan, bagian tengah ketiga dinding dan di sebekah kiri dan kanan pintu masuk, yang menggambarkan makhluk kayangan dilihat dari pakaian dan hiasan yang dipakainya. Salah satu tangannya memegang genta (bel upacara) dan tangan yang lainnya menyokong tubuh naga yang melingkar di bagian atas bangunan dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan. Masing-masing dinding tubuh candi dihiasi dengan relief-relief buatan yang disebut dengan motif medalion.
Pintu masuk candi terletak di barat laut dengan pipi tangga berhiaskan tumpal dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Di depan telah disampaikan bahwa gambar naga di sangga 9 orang ini mengisyaratkan sebuah candra sengkala ”Naga muluk sinangga jalma” yang berarti angka tahun 1208 Ç atau 1286 M dimasa pemerintahan Kertanegara.
Masih dalam lingkungan halaman B, terdapat sebuah pondasi dari bata yang terkesan menghadap barat daya, diketahui dari bidang menjorok ke sisi barat daya dan membentuk suatu pintu masuk. Lokasinya terletak di sebelah timur candi.
Bagian barat daya terdapat dua buah sisa bangunan, yaitu sebuah pondasi dari bata berukuran 10 x 20 meter dan sebuah lagi berdenah bujur sangkar yang memiliki ciri-ciri sama dengan salah satu pondasi di bagian timur laut. Di sudut barat halaman ini terdapat sekumpulan ambang pintu yang terlepas dari bangunan aslinya. Pada ambang- ambang pintu itu beberapa diantaranya memuat angka tahun yang masih dapat terbaca dengan jelas. Yaitu tahun 1245 Ç, 1294 Ç, 1295 Ç, dan dua buah lagi berangka tahun sama yaitu 1301 Ç. Ada dua buah arca Dwarapala lagi dengan angka tahun 1242 Ç terkesan terletak di pintu masuk ke halaman ketiga yang mungkin sebuah gapura paduraksa, karena dekat tempat itu terdapat reruntuhan sebuah pintu yang berangka tahun 1240 Ç.[2]

3.      Halaman C
Melewati pintu gerbang paduraksa yang hanya tinggal pondasi dan dua dwaraphala, sampailah di halaman ketiga terletak di ujung tenggara sebagai bagian paling belakang dari komplek candi dan terletak di tanah yang lebih tinggi dari yang lainnya. Karena adanya anggapan bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang paling sakral. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan di halaman ini yang letaknya tidak beraturan. dua buah yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk dan prasasti Palah berupa linggapala. [3]
Sepanjang sisi barat laut terdapat lima buah sisa bangunan berupa pondasi dan batur dari batu atau bata. Satu daiantaranya sebuah batur yang terdapat relief-relief ceritera candi. Tingginya sekitar satu meter.
Di halaman C terdapat bangunan candi induk yang terdiri dari tiga teras tersusun dengan tinggi 7,19 meter.  Pada masing-masing sisi tangga terdapat dua aca mahakala, yang pada lapiknya terdapat angka tahun 1269 Ç atau 1347 M. Sekelling dinding candi pada teras pertama terdapat relief cerita Ramayana. Untuk dapat membacanya harus mengikuti arah prasawiya, dimulai dari sudut barat laut. Pada teras kedua sekeliling dinding dipenuhi pahatan relief ceritera Krçnayana yang alur ceriteranya dapat diikuti secara pradaksina (searah jarum jam). Sedangkan di teras ke tiga berupa  relief  naga dan singa bersayap.
Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-dindingnya berpahatkan arca singa bersayap dan naga bersayap. kepalanya sedikit mendongak ke depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dakam posisi berjongkok sedang kaki depan diangkat ke atas.
Disisi barat daya halaman terdapat dua buah sisa bangunan. Sebuah candi kecil dari batu yang belum lama runtuh yang oleh orang Belanda dulu dinamakan ”klein heligdom” atau bathara kecil. Nampaknya candi inilah yang mula-mula dibuat bersamaan dengan parasasti Palah melalui upacara pratistha tersebut. Sebuah sisa yang lain berupa pondasi dari bata. Kedua sisa bangunan ini  menghadap ke arah barat daya. Sederet dengan sisa kedua bangunan ini berdiri sebuah lingga batu. Dan inilah yang disebut ”prasasti Palah”.[4] Di area komplek percandian juga terdapat sebuah kolam berangka tahun 1337 Ç atau 1415 Masehi yang terletak di belakang candi sebelah tenggara.
B.     Sejarah Candi Penataran
Prasasti Palah menerangkan bahwa “menandakan Kertajaya senang  dengan kenyataan tidak terjadi sirnanya empat penjuru dari bencana” dari kalimat ”tandhan krtajayayåhya / ri bhuktiniran tan pariksirna nikang sang hyang catur lurah hinaruhåra nika[5]. Rasa senangnya tersebut kemudian beliau curahkan dengan perintah dibangunnya prasasti yang tertulis dalam sebuah linggapala oleh Mpu Amogeçwara atau disebut pula Mpu Talaluh. Bangunan tersebut beliau fungsikan untuk menyembah Bathara Palah, seperti yang tertuang dalam prasasti tersebut yang beerbunyi “sdangnira Çri Maharaja sanityangkên pratidina i sira paduka bhatara palah” yang berarti “Ketika beliau Sri Maharaja senantiyasa setiap hari berada di tempat bathara Palah”.
Kitab Pararaton menyebutkan bahwa keruntuhan Kadiri dikarenakan majunya Ken Arok sebagai Akuwu Tumapel. Kemudian dirinya merebut Kadiri dan mendirikan Singasari dengan wangsanya, wangsa Rajasa (1222-1227). Saat itu keadaan Prasasti Palah kurang mendapat perhatian dikarenakan kemelut yang tengah terjadi di Singasari, perebutan kekuasaan. Pada masa Anusapati hanya meninggalkan patung Ganesha yang berangka tahun 1161 Ç dilambangkan dalam candra sengkala melalui wujud Ganesha itu sendiri ”Hana Ghana Hana Bhumi” atau tahun 1239 M.[6] Penempatan Ganesha di pinggir sungai Brantas yang berdekatan dengan muara sungai Lahar diduga sebagai upaya untuk menghalang-halangi siapapun yang hendak melakukan pemujaan terhadap Bathara Palah.
Perhatian terhadap prasasti Palah kembali pada tahun 1286, pada masa pemerintahan Kertanegara. Beliau mendirikan Candi Naga dengan hiasan relief naga yang disangga oleh 9 orang sebagai lambang candrasengkala ”Naga muluk sinangga jalma” atau tahun 1208 Ç.
Berdirinya Majapahit dapat dilihat di lapik arca Dwaraphala. Pada masa pemerintahan Jayanegara candi Panataran mulai mendapat perhatian kembali, kemudian dilanjutkan pada masa Tribuanatunggadewi dan Hayam Wuruk. Pemujaan terhadap Dewa Palah semakin kental diwarnai pemujaan kepada Dewa Gunung atau Syiwa. Candi Panataran diresmikan sebagai candi negara dengan status dharma lepas.
Sesuai angka tahun yang dipahatkan didinding kolam yaitu tahun 1337 Ç atau tahun  1415 M merupakan angka tahun termuda diantara angka-angka tahun yang terdapat di kompleks candi Penataran tersebut. Waktu itu Majapahit didalam masa pemerintahan Wikramawardhana.[7]
Sejak runtuhnya Majapahit yang disusul dengan berpindahnya keyakinan penduduk setempat yakni Islam, keadaan Candi Panataran sanagt memprihatinkan. Bengunan tersebut tidaka ada yang merawat sampai tertimbun longsoran tanah dan semak belukar, yang nampak hanyalah puing-puing yang berserakan. Keadaan tersebut diperparah dengan diambilnya batu-batu candi oleh penduduk setempat guna keperluan alas bangunan rumah atau pengeras jalan, sedangkan batu bata merahnya di tumbuk untuk dijadikan semen merah.
Keadaan tersebut berakhir dengan kedatangan para peneliti pada sekitar permulaan abad XIX. Mulai saat itu diadakanlah rekonstruksi dan pemugaran. Candi Panataran ditemukan kembali pada tahun 1815. Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles, letnan gubernur jendral kolonial Inggris yang berkuasa di negara Indonesia pada waktu itu.

 



[1] Dharma lepas adalah sebidang tanah pemberian dari Raja untuk rakyat yang tidak dikenai wajib pajak dengan tujuan agar rakyat itu dapat melangsungkan kewajibannya terhadap bangunan suci yang berdiri diatasnya dan mendapat penghidupan karena pekerjaan merawat bangunan tersebut. Artinya pembiayaan bukan tanggungan Negara. S. Supomo, “Arjunawijaya a Kakawin of mpu Tantular” (The Hague : Martinus Nijhoff-KITLV, 1971, hlm. 123.
[2] B.I. Mardiono-Gudel, “Candi Penataran Pesona dan TabirSejarahnya” hlm 26
[3] Ibid, hlm 26
[4] Ibid, hlm 27
[5] Ibid,hlm 39
[6] Ibid,hlm 40
[7] Ibid, hlm 41

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar