Perang Irak Iran

A.    Penyebab Perang
Irak dan Iran adalah 2 negara Islam yang bertetangga. Banyak hal yang memicu terjadinya peperangan diantara keduanya seperti masalah politik, ekonomi dan sektarian, berikut ini adalah beberapa pemicu konflik:
1.      Sengketa atas Shatt Al-Arab dan Khuzestan
Shatt Al-Arab adalah sungai sepanjang 200Km yang terbentuk atas pertemuan sungai Eufrat dan Tigris di Kota Al Qumah, Irak Selatan, dimana bagian akhir sungai itu adalah teluk Persia yang merupakan perbatasan antara Irak dan Iran. Karena letaknya yang strategis menuju Teluk Persia maka sungai tersebut menjadi wilayah sengketa kedua negara.
Wilayah lain yang menjadi sengketa adalah provinsi Khuzestan yang kaya akan minyak. Wilayah tersebut menjadi wilayah Iran namun sejak 1969 Irak mengklaim bahwa wilayah tersebut menjadi wilayahnya bahkan Irak menyerukan warga arab yang tinggal disana untuk memberontak melawan Iran.
2.      Munculnya Revolusi Islam di Iran
Pada tahun 1979 terjadi penumbangan rezim Pahlevi yang merupakan rezim boneka bentukan Amerika serikat dan di gantikan oleh sistem republik Islam. Pasca penumbangan tersebut munculah ke khawatiran dikalangan nasionalis Arab dan kaum muslim Sunni karena di khawatirkan revolusi tersebut akan menyebar di negara-negara Arab lainnya. Kekhawatriran terbesar terjadi di wilayah Irak yang wilayahnya bersebalahan dengan Iran dan terdapat kaum minoritas Syiah di wilayahnya.
Ayatullah Khoemeni pemimpin revolusi Iran memang memiliki impian untuk menyebarkan pengaruh revolusinya ke wilayah Arab lainnya. Pertengahan 1980, Khomenini menyatakan bahwa pemerintahan sekular irak adalah pemerintahan “boneka setan” dan masyarakat muslim di Irak sebaiknya bersatu untuk melakukan revolusi seperti yang terjadi di Iran.
3.      Terjadi Percobaan Pembunuhan terhadap Pejabat Irak
Pertengah tahun 1980, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Deputi Perdana Menteri Irak, Tariq Azis. Irak pun menangkap beberapa orang yang diduga terlibat dalam percobaan pembunuhan tersebut, selain itu Irak juga mendeportasi ribuan warga Syiah iran keluar dari Irak. Pemimpin Irak sadam Hussein menyalahkan Iran karena diduga terdapat agen Iran yang juga terlibat didalamnya. Kejadian tersebut pun semakin memanasklan hubungan kedua negara sehingga perang pun sulit untuk di hindarkan.

B.     Jalannya Perang Iran melawan Irak
Perang Iran-Irak juga dikenal sebagai Pertahanan Suci dan Perang Revolusi Iran di Iran, dan Qadisiyyah Saddam di Irak, adalah perang di antara Irak dan Iran yang bermula pada bulan September 1980 dan berakhir pada bulan Agustus 1988. Perang ini bermula ketika rezim Saddam Hussein berkuasa. Berawal dari Saddam Hussein melakukan pelanggaran di wilayah Iran. Dalam perang tersebut terjadi banyak tarik ulur pasukan hingga berakhirnya perang, dan berikut ini adalah tahap-tahap peperangan:
1.      Tahun 1980, Penyerbuan oleh irak
Pada tanggal 22 September irak melancarkan serangan udara di 10 pangkalan udara yang terdapat di Iran, Irak mnggunakan strategi yang dilakukan Israel dalam perang 6 hari. Dalam serangn tersebut Irak berhasil menghancurkan jalan-jalan darat dan amunisi-amunisi Iran, sementara pesawat pesawat yang dimiliki Iran pun masih banyak yang utuh karena terlindung dalam hanggar-hanggar yang terproteksi khusus. Kegagalan irak tersebut memberi kesempatan pada Iran untuk membalas serangan udara ke Irak.
Sehari kemudian, Irak melakukan serangan darat ke wilayah Iran dari 3 front sekaligus. Inti dari serangan tersebut adalah untuk menguasai Khuzestan & Shatt al-Arab di mana 4 dari 6 divisi pasukan Irak dalam penyerbuan dikirim untuk menguasai kedua wilayah tersebut. Sisanya dipecah jadi 2 untuk menguasai front utara (Qasr-e Shirin) & front tengah (Mehran) untuk mengantisipasi serangan balik yang mungkin dilakukan oleh Iran. Hasilnya, usai serangan mendadak itu Irak berhasil menguasai wilayah Iran seluas 1.000 km persegi.
Bulan November 1980, pasukan Irak melancarkan serangan ke 2 kota penting yang strategis di Iran selatan, Shabadan & Khorramshahr. Dalam penyerbuannya itu, pasukan Irak mendapat perlawanan sengit dari pasukan Pasadan (Garda Revolusi) Iran. Kedua kota tersebut akhirnya berhasil dikuasai Irak pada tanggal 10 November 1980. Tercatat belasan ribu pasukan dari kedua kubu terbunuh dalam pertempuran di kedua kota tersebut. Keberhasilan Irak menguasai kedua kota tersebut sekaligus menjadi keberhasilan terakhir Irak mencaplok wilayah mayor dari Iran.
Iran yang tertekan sempat berusaha melakukan serangan balasan kepada Irak pada awal tahun 1981, namun gagal karena presiden Iran, Bani Sadr, nekat memimpin langsung pasukan reguler Iran sekalipun dia hanya memiliki pengetahuan militer yang minim. Ia mengirimkan 3 resimen pasukan reguler tanpa didukung oleh Pasadar & tidak memperhitungkan waktu serangan di waktu hujan yang bakal menyulitkan suplai logistik. Akibatnya, pasukan Iran dikepung pasukan Irak & banyak dari kendaraan lapis baja Iran yang hancur atau perlu ditinggalkan karena terjebak dalam lumpur.
Serangan balasan Iran yang jauh lebih efektif sebenarnya sudah dilakukan beberapa hari sejak Irak pertama kali membombardir pangkalan udara milik Iran. Pesawat-pesawat F-4 milik Iran melakukan serangan ke wilayah Irak & secara efektif berhasil melumpuhkan sejumlah titik penting di Irak. Keberhasilan tersebut membuat pasukan udara Iran terlihat lebih superior dibanding pasukan udara Irak. Namun, kurangnya amunisi & suku cadang yang hanya bisa didapatkan dari AS - mantan sekutu Iran yang berbalik memusuhi mereka pasca revolusi Islam - membuat Iran lebih banyak memakai helikopter yang dipasangi persenjataan darat sebagai pendukung dari udara (aerial support).

2.      1982: Titik Balik Mudurnya Irak
Pasukan Irak dalam serangan kilatnya berhasil memanfaatkan momentum lemahnya koordinasi pasukan Iran & problem alutsista milik Iran sehingga para pengamat yakin bahwa perang akan segera berakhir dengan kemenangan Irak hanya dalam waktu beberapa minggu. Plus, Irak memang berhasil menguasai wilayah-wilayah strategis Iran dalam serangannya itu. Namun, Iran enggan menyerah begitu saja & dalam perkembangannya berhasil memukul balik Irak.

Problem bagi Iran dalam perang adalah dari segi alutsista atau persenjataan, mereka kalah superior dibanding Irak yang saat itu memang merupakan salah satu negara dengan kekuatan militer terbaik di Timur Tengah selain Israel. Untuk mengantisipasinya, sejak perang meletus Iran merekrut ratusan ribu milisi sukarela yang disebut Basij (Tentara Rakyat). Basij tidak memiliki pengalaman militer & persenjataan yang memadai, namun mereka memiliki keyakinan sangat tinggi akan ideologi religiusnya & tidak segan-segan melakukan tindakan berani mati semisal menerobos ladang ranjau atau area yang dihujani tembakan artileri musuh saat diperintahkan.
Pasukan Irak di wilayah Iran dalam perkembangannya tidak bisa bergerak lebih jauh lagi sejak bulan Maret 1981 setelah pasukan mereka dikalahkan oleh milisi Basij yang jumlahnya mencapai ribuan di Sungai Kanun. Sejak itu, Irak lebih banyak melakukan taktik defensif untuk mempertahankan wilayah taklukan mereka & hanya terjadi sedikit pergeseran di garis depan. Faktor utamanya adalah kesalahan prediksi di mana Irak memperkirakan warga Arab Sunni di Iran bakal membantu mereka. Namun faktanya, mereka - bersama rakyat Iran lainnya - justru bersatu & bahu-membahu melawan Irak.
Titik balik bagi Iran terjadi pada bulan Maret 1982 dalam operasi militernya di bawah kode sandi "Operasi Kemenangan yang Tak Dapat Disangkal" (Operation Undeniable Victory). Dalam operasi militer itu, pasukan gabungan Pasadan-Basij milik Iran berhasil menembus garis depan pasukan Irak yang sebelumnya dianggap tidak bisa ditembus & memecah pasukan Irak di utara & selatan Khuzestan sehingga pasukan Irak terpaksa mundur.
Bulan Mei 1982, Iran berhasil merebut kembali wilayah Khorramshahr. Dalam pertempuran di wilayah tersebut, Irak kehilangan 7.000 tentara, sementara Iran 10.000 sehingga menjadikan pertempuran itu sebagai salah satu pertempuran paling berdarah dalam inisiatif serangan balik Iran. Sejak kemenangan tersebut, Iran berganti menjadi pihak yang menekan Irak & pada bulan Juni berhasil mendapatkan kembali seluruh wilayahnya yang sebelumnya dikuasai oleh Irak.
Saddan Hussein yang melihat bahwa moral pasukannya sudah terlanjur runtuh akibat serangkaian kekalahan melawan Iran pun menyatakan akan segera menarik seluruh pasukannya dari Iran & menawarkan gencatan senjata kepada Iran. Tawaran gencatan senjata itu mencakup pembayaran ganti rugi perang sebesar 70 juta dollar AS oleh negara-negara Arab. Iran menolak tawaran gencatan senjata tersebut & menyatakan bahwa mereka akan menyerbu Irak & tidak akan berhenti sampai rezim yang berkuasa di Irak digantikan oleh rezim pemerintahan republik Islam.
3.      Tahun 1982-1988 : Penyerbunan oleh Iran
Bulan Juli 1982, Iran melancarkan serangannya ke kota Basra, Irak, di bawah kode sandi "Operasi Ramadhan". Dalam serangan tersebut, puluhan ribu anggota Basij & Pasdaran mengorbankan diri mereka dengan berlari melewati ladang ranjau untuk memberi jalan bagi tank-tank di belakangnya di mana selain menghadapi bahaya ranjau, mereka juga dihujani tembakan artileri pasukan Irak. Irak berhasil mencegah Iran merengsek lebih jauh berkat kegtangguhan persenjataannya di garis pertahanan, namun Irak juga harus kehilangan sejumlah kecil wilayah karena dikuasai Iran.
Keberhasilan Iran memukul balik Irak & berbalik menjadi negara penyerbu membawa kekhawatiran tersendiri bagi AS yang memutuskan untuk membantu Irak sejak tahun 1982. Presiden AS Ronald Reagan menyatakan bahwa AS akan berusaha dengan cara apapun untuk mencegah Irak kalah. Bantuan AS - beserta negara-negara sekutunya - ke Irak yang diketahui mencakup bantuan teknologi, alutsista, & intelijen. Dukungan untuk Irak juga datang dari Uni Soviet & Liga Arab.
Kemudian, Iran berpikir bahwa Irak bisa direbut dengan melacarkan serangan besar-besaran dari berbagai front. Maka pada tahun 1983, Iran melakukan 3 penyerbuan besar yang disusul 2 penyerbuan lainnya dengan mengerahkan ratusan ribu personil tentaranya. Iran sempat berhasil menembus garis pertahanan Irak, namun Irak berhasil memukul balik Iran dengan melakukan serangan udara mendadak secara besar-besaran. Hingga akhir tahun 1983, tercatat 120.000 personil Iran & 60.000 personil Irak tewas dalam peperangan.
Irak berusaha memaksa Iran menghentikan perang & menuju meja perundingan dengan berbagai cara. Di awal tahun 1984, Irak membeli sejumlah alutsista baru dari Uni Soviet & Perancis. Tak lama kemudian, Irak melakukan serangan udara ke sejumlah kota dengan persenjataan barunya itu. Irak berharap Iran merasa tertekan & kemudian menerima tawaran dari Irak untuk berunding di tempat netral, namun nyatanya Iran tetap menolak tawaran berunding dari Irak.
Iran yang kehilangan begitu banyak personilnya akibat sejumlah penyerbuan yang gagal sebelumnya belum mengendurkan serangan. Bulan Februari 1984, Iran menggelar "Operasi Fajar (Operation Dawn) 5 & 6" yang ditargetkan ke kota Kut al-Amara dengan tujuan memotong jalur perairan yang menghubungkan Baghdad & Basra. Dalam kedua operasi militer itu, Iran mengerahkan 500.000 personil Basij & Pasdaran.
Pertempuran dalam Operasi Fajar sekaligus menjadi seperti head-to-head kekuatan militer yang dominan di masing-masing negara. Iran unggul jumlah tentara tapi kekurangan alutsista pendukung macam pasukan udara & artileri, sementara Irak kalah jauh dalam hal jumlah tentara tapi unggul dalam hal alutsista. Periode antara tanggal 29 Februari hingga 1 Maret merupakan salah satu episode pertempuran terbesar dalam Perang Irak-Iran di mana dalam pertempuran itu, masing-masing pihak kehilangan 20.000 tentaranya.
Iran kembali melancarkan agresi militer antara akhir Februari hingga Maret 1984 di bawah kode sandi "Operasi Khaibar" dengan memakai sejumlah serangan pendobrak ke Kota Basra. Agresi militer tersebut berujung keberhasilan pasukan Iran merebut Pulau Majnun yang kaya minyak. Irak sempat melancarkan serangan balik untuk merebut wilayah tersebut - termasuk dengan memakai senjata kimia. Namun, pasukan Iran tetap berhasil mempertahankan pulau tersebut hingga menjelang akhir perang.
Walaupun berada pada posisi tertekan, pada tahun 1985 Irak masih sempat melakukan penyerbuan balik ke Iran dengan menyerang Tehran & kota-kota penting di Iran lainnya usai mendapatkan bantuan finansial dari negara-negara Arab sekutunya & bantuan alutsista terbaru dari Uni Soviet, Cina, & Perancis. Serangan Irak tersebut tidak membawa perubahan yang signifikan dalam arah peperangan & sekalipun wilayahnya diserang, di tahun itu Iran tetap melakukan penyerbuan ke wilayah Irak di bawah kode sandi "Operasi Badr".
4.      1984-1988: Perang Tanker
Tahun 1984, Irak - yang baru mendapat bantuan pesawat tempur Super Etentard terbaru dari Perancis - melakukan operasi militer di laut mulai dari muara Shatt el-Arab hingga pelabuhan Iran di Bushehr. Target dari operasi militer tersebut adalah semua kapal yang bukan berbendera Irak di wilayah operasi militer, baik itu kapal berbendera Iran maupun kapal netral yang dari atau menuju Tehran. Tujuannya adalah untuk memblokade ekpsor minyak Iran & mempengaruhi ekonominya sehingga Iran mau berunding dengan Irak. Kebijakan militer Irak tersebut lalu mengawali babak baru dalam perang yang dikenal sebagai "perang tanker".
Jika ditelusuri, sebenarnya perang tanker sudah dimulai sejak tahun 1981 di mana pasukan laut Irak saat itu menargetkan titik-titik penting milik Iran di laut seperti pelabuhan & kilang minyak. Dalam operasi militernya di laut tersebut, Irak lebih banyak memakai angkatan udaranya untuk melakukan serangan. "Perang tanker fase I" tersebut berlangsung selama 2 tahun setelah baik Irak maupun Iran kekurangan armada kapal untuk meneruskan operasi militernya. Baru pada tahun 1984, Irak memutuskan untuk kembali melakukan operasi militer di laut sekaligus mengawali babak baru "perang tanker fase II".
Perang tanker fase II dimulai ketika Irak menyerang kapal berbendera Yunani di sebelah selatan Kepulauan Khark pada bulan Maret 1984. Iran lantas membalasnya dengan menyerang kapal-kapal berbendera Kuwait di dekat Bahrain & Arab Saudi di perairan Arab Saudi sendiri sekaligus memberi peringatan bahwa jika Irak tetap nekat melanjutkan perang tanker, tak akan ada kapal milik negara Teluk yang selamat. Suatu ancaman yang dampaknya tidak ringan karena berpotensi melumpuhkan aktivitas pengangkutan minyak mentah di kawasan tersebut.
Upaya Irak untuk memblokade jalur transportasi minyak Iran gagal melumpuhkan ekonomi Iran karena ketika Irak memblokade kawasan teluk, Iran hanya memindahkan pelabuhannya ke Kepulauan Larakdi dekat Hormuz sehingga aktivitas ekspor minyaknya relatif tidak terganggu. Di lain pihak, justru Irak yang perekonomiannya terancam setelah Suriah, sekutu Iran saat itu, memblokade pipa minyak Irak ke Mediterania sejak tahun 1982. Sebagai antisipasinya, Irak mengalihkan aktivitas ekspor minyaknya lewat Kuwait & jalur pipa minyak baru dibangun melewati Laut Merah serta Turki.
5.      1987-1988: Ikut Campurnya Amerika Serikta
Situasi perang tanker yang semakin membabi buta karena ikut menargetkan kapal-kapal tanker dari negara-negara yang netral membuat Kuwait meminta bantuan pihak internasional pada tahun 1986. Uni Soviet adalah negara pertama yang merespon dengan mengirimkan kapal-kapal perangnya untuk mengawal kapal tanker Kuwait. Kebijakan Uni Soviet lalu diikuti oleh AS pada tahun 1987 yang sebenarnya sudah didekati Kuwait lebih dulu.
Faktor pendorong utama ikut campurnya AS dalam Perang Irak-Iran sebenarnya disebabkan karena kapal perangnya, USS Stark, ditenggelamkan oleh pesawat tempur Irak sehingga 13 awak kapalnya meninggal. Irak meminta maaf kepada AS sambil mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan & permintaan maaf Irak diterima oleh AS. Ironisnya, sesudah insiden itu AS justru menyalahkan Iran dengan alasan Iranlah yang menyebabkan peperangan semakin berkobar. Tuduhan AS lalu diikuti tindakan AS mengirim armada lautnya untuk mengawal kapal-kapal tanker milik Kuwait yang mengibarkan bendera AS.
Tujuan utama AS dalam penerjunan armada lautnya di sekitar Teluk adalah untuk mengisolasi Iran & menjaga agar kapal-kapal bebas berlayar di sana. AS baru melancarkan serangan langsung ke Iran dengan menghancurkan kilang minyak Iran di ladang minyak Rostam setelah pasukan Iran menenggelamkan kapal tanker Kuwait berbendera AS, Sea Isle City. Setahun kemudian, tepatnya bulan April 1988, AS kembali menyerang kilang minyak & kapal-kapal perang Iran setelah kapal perangnya, USS Samuel B. Roberts, tenggelam akibat ranjau laut Iran.
Tanggal 3 Juli 1988, kapal perang AS, USS Vincennes, menembak jatuh pesawat sipil Iran sehingga seluruh penumpang & awak pesawatnya tewas. AS berdalih bahwa pasukannya salah mengira bahwa pesawat sipil tersebut adalah pesawat tempur Iran karena tidak mengidentifikasikan dirinya ke kapal perang sebagai pesawat sipil & pesawat tersebut berada di perairan umum. Klaim AS tersebut dibantah oleh Iran & sumber independen lainnya seperti bandara Dubai bahwa pesawat tersebut sudah mengidentifikasikan dirinya ke kapal AS sebagai pesawat sipil melalui radio & pesawat itu masih berada di perairan Iran.
6.      Tahun 1988: Gencatan Senjata dan Pasca Perang
Antara bulan April hingga bulan Agustus 1988, arah pertempuran mulai kembali ke arah Irak di mana Irak berhasil meraih beberapa kemenangan penting atas Iran. Dalam pertempuran pada kurun waktu tersebut, Irak juga berhasil merebut sejumlah besar alutsista milik Iran & menguasai kembali Semenanjung Al-Faw serta Kepulauan Majnun yang kaya minyak. Perang akhirnya berakhir setelah Iran menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 598 & secara resmi mengakhiri perang yang sudah terjadi selama 8 tahun pada tanggal 20 Agustus 1988.
Perang Iran-Irak membawa kerugian besar bagi kedua belah pihak, baik dari segi material & korban jiwa. Jumlah kerugian material bagi masing-masing negara diperkirakan mencapai 500 juta dollar AS. Sebagai akibatnya, pembangunan ekonomi menjadi terhambat & ekspor minyak kedua negara terganggu. Jumlah kerugian lebih besar harus ditanggung Irak yang selama perang memang aktif mencari pinjaman uang untuk menambah alutsista.
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah korban tewas dalam Perang Irak-Iran. Beberapa sumber memperkirakan bahwa jumlah korban tewas Irak mungkin mencapai 200.000 jiwa lebih, sementara Iran mencapai 1 juta jiwa sebagai akibat dari taktik militer Iran yang banyak mengorbankan tentaranya untuk berhadap-hadapan langsung dengan moncong senjata musuh. Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang meninggal kemudian akibat luka parah & penyakit, termasuk akibat penggunaan senjata kimia Irak yang berdampak jangka panjang.
Selain kerugian materi & korban jiwa, tidak ada perubahan berarti pasca perang. Wilayah-wilayah yang menjadi bahan sengketa statusnya kembali seperti sebelum perang & batas antara kedua negara juga tidak banyak berubah. Wilayah perairan Shatt al-Arab contohnya, tetap dibagi menjadi milik kedua negara dengan batasnya adalah titik terdalam pada perairan. Pasca perang, kedua negara juga melakukan normalisasi hubungan bilateral.


C.     Usaha Perdamaian oleh PBB
Perperangan yang terjadi antara Iran dan Irak tidak terjadi tanpa ada yang mengahalangi. PBB misalnya, badan perdamaian dunia ini pun turut andil dalam upaya perdamaian kedua negara ini, dengan mengambil beberapa langkah sebagai berikut:
1.      Setelah sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 28 September 1980 di New York telah meinta kepada kedua belah pihak menghentikan peperangan dan permasalahan kedua belah pihak diselesaikan di meja perundingan. Mereka meminta Irak mundur dari tempat-tempat yang diduduki di Iran. pihak ketigapun telah disediakan seperti Presiden Aljazair, Chadli Benjedid, Presiden Pakistan, Jenderal Zia Ul Haq, ketua Organisasi Palestina (PLO) Yasser Arafat, Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI), Habib Chatti. Tetapi kedua belah pihak menolak tawaran tersebut.
2.      Dalam proses penyelesain Perang Irak-Iran, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan Resolusi No.598 pada tanggal 20 Juli 1987. Resolusi ini berisi usulan untuk dilakukannya genjatan senjata antara Irak dan  Iran. Iran menolak usulan tersebut dan hanya mau menerima apabila Irak dinyatan sebagai pihak aggresor. SedaIrak mau menerima resolusi dengan syarat pihak lawan juga harus berbuat yang sama.
3.      Pada akhir Juli 1988, Iran menyatakan kesediaanya untuk menerima usul genjatan senjata seperti yang tercantum dalam Resolusi DK PBB No.598. Iran mendapat kompensasi dari Irak sebesar 150 juta dolar AS pertahun.
 sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Iran-Irak. Diakses pada tanggal 20 April 2011.
http://republik-tawon.blogspot.com/2010/07/perang-irak-iran-panggung-modern_29.html Diakses pada tanggal 16 Mei 2011






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DINAMIKA MILITER DALAM KETATANEGARAAN RI


 Keterlibatan militer dalam kancah perpolitikan di Indonesia telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Kesadaran akan pentingnya peranan militer dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia telah tumbuh dalam jiwa para pemuda Indonesia. Mereka meminta kapada Soekarno selaku Presiden RI agar membentuk suatu badan militer. Kemudian pada tanggal 22 Agustus 1945 dalam sidang PPKI, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Anggota BKR diambil dari bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, dan kelompok lainnya.
 Pada tanggal 5 Oktober 1945, BKR berubah namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).[1] TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia pada 24 Januari 1946.[2] Pada tanggal 3 Juni 1947 TNI secara resmi dibentuk.[3] Anggotanya merupakan gabungan dari kesatuan biro perjuangan dengan pasukan senjata lainnya.
Orde Lama 1945-1965
Cholisin mengutip dalam bukunya Soebiyono Dwi Fungsi ABRI :Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia bahwa pada mulanya keterlibatan militer dalam politik bersifat covert political support terhadap politik Tan Malaka.[4] Tan Malaka melakukan perjuangannya melalui Persatuan Perjuangan (PP). Mereka sepakat dengan komitmen nasional dan strategi PP dalam mempertahankan negara dari Belanda serta sikap tidak suka atas perlakuan Syahrir terhadap tentara yang berasal di bekas serdadu PETA.
Tampak jelas bahwa tidak ada keserasian antara pemerintah sipil-militer. Keduanya saling tidak bisa menaruh kepercayaan. Pada tanggal 20 Mei 1946 pemerintah Syahrir membentuk Divisi Siliwangi dan Brigade Mobil Polisi sebagai bentuk penjagan bila sewaktu-waktu terjadi kudeta yang dilakukan oleh kelompok Tan Malaka. Kekhawatiran Syahrir terbukti. Pada tanggal 3 Juli 1946 PP dengan dibantu oleh Divisi III TRI dan Pasukan Banteng dari Yogyakarta melakukan penculikan terhadap Syahrir sebagai upaya Coup d’etat, tetapi dapat digagalkan oleh pasukan Divisi Siliwangi.[5]
Saat terjadi Agregsi Belanda, sebagian wilayah dikuasai termasuk Yogyakarta. Dalam situasi demikian, Panglima Besar Sudirman menginstruksikan kepada Angakatan Perang RI agar menghadapi Agresi Belanda dengan startegi yang telah diputuskan oleh Dewan Siasat Militer. Strategi tersebut antara lain, dibentuk pemerintahan PDRI di Bukit Tinggi, Sumatera dan sebagi bentuk penjagaan lapis ke 2, didirikan PDRI di India. Militer menginginkan pemerintah sipil pun ikut melakukan Perang Gerilya, tetapi hal tersebut tidak ditanggapi.
Perang Gerilya diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Roem-Royen. Keputusan tersebut membuat kecewa militer. Mereka yng merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan Negara. Karena mereka lahir dari suasana revolusioner Anggapan tersebut semakin mengidentifikasikan dirinya sebagai “kepentingan Negara” dan “kepentingan seluruh rakyat”. Karena itulah, sejatinya militer mempunyai hak otonom di dalam pemerntahan tetapi pada masa pemerintahan parlementer, PM Syahrir mengangkat Amir Syarifudin sebagai Menteri Pertahanan. Militer berada dibawah kekuasaan sipil.    
Sebagai bentuk pernyataan di atas, dalam menghadapi perang kemerdekaan militer tidak hanya bergerak dibidangnya tetapi juga di bidang ekonomi, yakni menerapkan gerilya ekonomi. Hal tersebut bertujuan untuk mengrongrong system perekonomian panjajah dan untuk membiayai parang dan revolusi. Misalnya, Laskar Rakyat Jakarta Raya mengendalikan ekonomi dengan memblokade kota Karawang supaya beras daerah ini tidak bisa di ekspor ke Jakarta yang telah dikuasai Belanda.
Awal 1950 keterlibatan militer dalam pemerintahan menurun. Pada sat iru militer ditempatkan sebagai instrumental force. Tetpi situasi ini tidak berlangsung lama karena militer sendiri terlibat dalam krisis politik pada “Peristiwa 17 Oktober 1952”. Pada peristiwa ini, militewr menuntut dibubarkannya Dewan Perwakilan Sementara. Kerana menurut pandangan mereka DPRS telah merugikan militer.[6]
Keterlibatan militer dalam pemerintahan baru diakui secara resmi saat Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 6 Mei 1957.  Dewan Nasional dibentuk bertujuan membantu kabinet dalam menjalankan program kerjanya. Menurut Adna Buyung, sikap militer tersebut sebenarnya hanya ingin mengurang pengaruh partai politik dan mendesak pemerintah agar kembali pada UUD 1945.  Inilah jalan memasuki masa Demokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 10 Februari 1958 Mayor Jenderal Nasution membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). FNPIB terdiri dari buruh, tani, pemuda dan militer. Tujuan resminya membebaskan Irian Barat dari Belanda dan tujuan lainnya sebagi alat politik Angkatan Darat untuk mendorong paham demokrasi terpimpin berdasarkan UUD 1945[7].    
FNPIB mempunyai pengaruh yang kuat, bisa menyaingi partai politik terutama PKI. Situasi tersebut membuat khawatir Presiden Soekarno. Sehingga pada bulan Desember 1959 dibentuk Front Nasional (FN). FN terdiri atas partai politik dan golongan fungsional.[8] Antara militer dan PKI saling berebut pengaruh. PKI berhasil menguasai bi tingkat provinsi dan kabupaten. Sehingga membuat mereka leluasa bergerak. Puncaknya terjadinya pemberontakan G30S/PKI. Militer berperan aktif dan mulai mendominasi perkembangan politik selanjutnya.  
Orde Baru  1966-1980
Indonesia memasuki babak politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang menandai runtuhnya keseimbangan tiga actor politik utama (Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI) dengan kehancuran PKI dan semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno.[9] Perubahan tersebut pertanda bahwa angkatan darat sebagai kekuatan tunggal, partai politik seakan-akan kehilangan kekuatannya. Angkatan Darat dianggap sebagai penyelamat oleh rakyat karena berhasil menumpas pemberontakan G30S/PKI.
Anggapan tersebut semakin menguatkan posisi militer dalam kancah politik, kesempatan tersebut tidak mereka sia-siakan. Militer langsung mengambil beberapa kebijakan, diantaranya: pelembagaan dwifungsi ABRI, pengembangan sebuah system control internal atas institusi tentara, pengembangan system kontol eksternal terhadap lembaga dan kekuatan politik lain. Kebijakan pemerintah tersebut, menimbulkan adanya penguasan atas struktur pemerintahan dan birokrasi di kuasai oleh militer dan juga melakukan perlemahan terhadap partai politik, parlemen, serta lembaga-lembaga lain yang dianggap memiliki kekuasaan dalam politik.
Dalam lembaga eksekutif, data tahun 1980 ABRI memiliki prosentase yang tinggi dalam mendduduki jabatan-jabatan sipil, yaitu duta besar (44,4%), gubernur (70 %), dan bupati (56,6 %). Sedangkan proporsi perwira militer dan eselon I diperoleh data sebagai berikut: 46,6 % dalam cabinet Ampera yang disempunakan terdiri dari 18 departemen, 39,65% dalam cabinet Pembangunan II yang terdiri dari 17 departemen, dan 44,99% dalam cabinet Pambangunan III yang terdiri dari 17 departemen.
Sementara dalam lembaga legislative, militer memiliki 100 orang wakil yang duduk di kursi DPR tanpa harus mengikuti pemilu. Kursi diberikan secara Cuma-Cuma sebanayk 20 % dari keseluruhan kursi DPR.
            Pada masa ini, militer digunakan sebagi penguat pengaruh dalam partai politik (Golkar).  Dominasi ABRI dalam kepemimpinan Golkar, 28 dari 2 anggota ABRI masuk dalam DPR. Antara bulan Agustus dan Oktober 1988, seratus dua puluh perwira militer terpilih menjadi pemimpin Golkar daerah. Hampir 70% wakil daerah dalam kongres nasional Golkar dijabat oleh ABRI, baik yang aktif maupun pensiunan.
            Akibat dari dominasi militer dalam pemerintahan, pranan sipil dalam politik menjadi termarjinalkan. Militer telah menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat dan Negara. Perkembangan seperti ini memperparah hubungan natara sipil-militer. Kondisi ini menyebabkan menurunnya citra dan kredibilitas militer sebagai kekuatan pertahanan.
Era Reformasi
Pada masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru, suara-suara ketidakpusaan rakyat terhadap pemerintah dan militer muncul ke permukaan yang membawa Indonesia menuju masa Reformasi. Reformasi menuntut adanya pembaharuan di berbagai bidang kehidupan rakyat dan Negara. Reformasi banyak menyoroti posisi ABRI, baik sebagai kekuatan hankam maupun social politik. Rakyat mengkritisi posisi Abri bukan lagi sebagai pelindung rakyat melainkan sebagi alat negar untuk kepentingan kekuasaan semata.
     Secara konkrit, perubahan dilakukan dengna mengurangi jumlah kursi ABRI di DPR, dari 100 menjadi 75 kursi, dan dari 75 menjadi 38 kursi atas dasar UU susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru. Perubahan dalam dalam lembaga eksekutif, anggota ABRI yang duduk di pemerintahan pusat maupun daerah harus memilih antara tetap manjadi anggota ABRI atau tetap duduk di pemerintahan yang berate harus mengundurkan diri dari kedinasan ABRI. Pengambilan keputusan diberi batas waktu sampai awal April 1999.
Pada tanggal 1 April 1999 dilakukan pemisahan antara Polri dan ABRI sebagi upaya untuk mempertajam fungsi masing-masing dengan pemisahan tersebut diharapkan baik Polri maupun ABRI dapa bekerja secara profesional.            

Sumber:
 Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Pro Demokrasi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
 Yulianto, Dwi. 2005. Militer dan Kekuasaan Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi.
Gumelar, Agum. 1999. Hubungan Sipil-Militer:Peran, Kontribusi, dan Tanggung jawab Sipil-Militer dalam Penyelenggaraan Negara. Jakarta: Grassindo.


[1] Yulianto, Dwi Pratomo., Militer dan Kekuasaan Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, hlm 76
[2] Ibid., hlm 87
[3] Ibid., hlm 89
[4] Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Pro Demokrasi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.,  hlm 26
[5] Ibid., hlm 27
[6] Ibid., hlm 31
[7] Adnan Buyung yang dikutip dari Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Pro Demokrasi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, hlm. 34
[8] Cholisin, op.cit;.,  hlm 34
[9] Yulianto, Dwi Pratomo., Militer dan Kekuasaan Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, hlm 33-34

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nasionalisme Pemuda


Menurut Hans Koln, Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sedangkan menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, Nasionalisme berarti paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan maju dalam satu kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna mencapai, memelihara dan mengabdi identitas, persatuan, kemakmuran, dan kekuatan atau kekuasaan negara bangsa yang bersangkutan.[1]
Nasionalisme pemuda Indonesia mulai tumbuh dengan ditandai berdirinya perkumpulan Budi Utomo pada tahun 1908. Budi Utomo manjadi stimulus  berdirinya perkumpulan-perkumpulan lain di berbagai daerah. Seperti Jong Java, Jong Sumatera dan lain sebagainya. Perkumpulan tersebut bertujuan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, diikrarkannya Sumpah Pemuda pada Kongres II. Sumpah tersebut mampu membakar semnagat para pemuda dan semakin menegaskan bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Jiwa pemuda yang tidak dipengaruhi oleh tendensi apapun mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara yang merdeka.   
Tetapi sekarang, nasionalisme pemuda Indonesia hanya bersifat simbolik. Rasa kepemilikan terhadap bangsa dan negaranya semakin hilang dari diri pemuda. Mereka semakin apatis terhadap keadaan bangsanya. Ada banyak factor yang melatar belakangi bergesernya nasionalisme pemuda. Fenomena tersebut mendorong kami mengangkat tema “Menggugat Nasionalisme Pemuda”.


2.1. Nasionalisme Pemuda sebelum Reformasi
Rasa cinta terhadap bangsanya sendiri sebelum masa reformasi seakan-akan telah terpatri dalam hati setiap pemuda Indonesia. Mereka rela berjuang dengan segenap jiwa dan raga untuk membela negeri tercinta. Hal tersebut dapat dilihat dari masa pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, Mereka selalu ada dan ikut berperan aktif di dalamnya. Peristiwa sejarah yang mencatat peranan pemuda, antara lain:
a.    Indonesia sebelum kemerdekaan
Kemerdekaan merupakan cita-cita setiap elemen masyarakat. Begitupun dengan pemuda. Mereka menginginkan agar kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan rakyat Indonesia sendiri bukan hadiah dari Jepang. Bentuk realisasinya, mereka berjuang dibidang militer baik itu legal maupun illegal. Contohnya Angkatan Muda Indonesia (AMI), Gerakan Angkatan Baru Indonesia, Gerakan Rakyat Baru dan lain sebagainya.   
b.   Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945
Peristiwa tersebut tidak lepas dari peranan para pemuda. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu sehingga terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia. Situasi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh para pemuda. Mereka langsung mengadakan rapat di Laboratorium Bakteriologi, Jalan Pegangsaan Tiur No. 13 Jakarta di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Hasil dari rapat bahwa Bangsa Indonesia harus secepatnya memproklamirkan diri sebagai negara merdeka bukan menunggu pemberian dari Jepang.
Para pemuda sangat menyadari bahwa keinginannya untuk memproklamirkan Indonesia menjadi negara merdeka tidak akan terlaksana tanpa dukungan dari golongan tua, khusunya Soekarno dan Hatta. Kemudian mereka menyampaikan keinginannya kepada golingan tua. Tetapi sayangnya rencana tersebut ditolak.
Atas penolakan tersebut, para pemuda bersepakat akan mengasingkan Soekarno-Hatta ke Garnisun Peta di Rengasdengklok. Tujuannya agar mereka jauh dari pengaruh Jepang. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta diasingkan dan keesokan harinya mereka bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
c.    Mempertahankan Kemerdekaan
Euforia Revolusi[2] seketika melanda negeri ini. Para pemuda langsung melakukan aksi melucuti persenjataan Jepang dan mengambil alih instansi-instansi pemerintah jajahan. aksi tersebut hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Seperti yang terjadi antara tanggal 3 dan 11 September, para pemuda Jakarta mengambil alih kekuasaan atas stasiun-stasiun kereta api, sistem trem listrik, dan stasiun pemancar radio. Pada akhir bulan September, instansi-instansi penting di Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Bandung juga sudah berada ditangan para pemuda.
Euforia Revolusi juga terjadi di dunia kesusastraan dan kesenian. pada masa ini lahirlah sastrawan angkatan ’45. Mereka adalah penyair Chairil Anwar, penulis prosa Pramoedya Ananta Toer dan wartawan Mochtar Lubis[3].
Saat pasukan sekutu datang dengan memboncengi NICA yang ingin berkuasa kembali di Indonesia, para pemuda lah yang maju di barisan depan untuk menghalau mereka. Misalnya dalam Peristiwa Bandung Lautan Api, pertempuran Medan Area, Peristiwa Palagan Ambarawa dan lain sebagainya,    

d.   Orde Baru
Akhir pemerintahan Orde Baru ditutup dengan serentetan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Aksi tersebut sebagai bentuk protes atas kinerja pemerintah yang hanya menguntungkan pihak tertentu saja dan juga budaya KKN yang semakin menjamur. Tetapi melupakan nasib rakyat.
Puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 demonstrasi di Universitas Trisakti Jakarta memakan korban jiwa. Empat mahasiswa tertembak. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana dan Hafidin Royan.  Peristiwa tersebut semakin menguatnya keinginan rakyat agar presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden RI dan menyerahkan jabatan presiden kepada wakil Presiden B.J. Habibie.
Peristiwa di atas sebagai bukti dari nasionalisme pemuda Indonesia. Jiwa pemuda yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya. sehingga mampu mempertahankan keutuhan kesatuan negaranya.

2.2.Nasionalisme Pemuda Pasca Reformasi
Nasionalisme pemuda pasca reformasi telah bergeser jauh dari tempatnya. Dulu para pemuda Indonesia dengan jiwa yang bersih menginginkan Bangsa Indonesia manjadi negara maju dan mandiri. Tetapi sekarang nasionalisme pemuda hanya bersifat simbolik. Pemuda tidak memiliki kecintaan terhadap negaranya sendiri. Nasionalisme hanya terihat dari luarnya saja, di dalamnya begitu rapuh. Misalnya pada saat timnas tengah berlaga dan juga peringatan HUT Kemerdekan RI yang tidak berbekas dalam diri setiap pemuda setelah selesai ritualnya. Tetapi melihat pulau Sipadan dan Ligitan diminta paksa oleh Negara tetangga, pemuda tidak tergerak.
Padahal pemuda adalah sosok yang selalu menjadi ujung tombak dari suatu negara. Apalagi Indonesia, jumlah populasi pemuda yang paling besar. Secara tidak langsung, pemuda menjadi tumpuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam visi pembangunan nasional 2000-2025 (UU no 17 Tahun 2007) kondisi Indonesia di masa depan digambarkan sebagai “Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur” dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UU Negara RI 1945.[4]   Untuk merealisasikan visi tersebut, diperlukan peranan pemuda. Dalam hal ini, pemuda diharapkan memiliki kualifikasi menjadi “potential leader[5]” di masa depan, khususnya sebagai “driving force[6]” pembangunan nasional.
Cara untuk mewujudkan visi tersebut adalah dengan membangun karakter bangsa. Seperi yang diketahui, generasi muda sedang mengalami degradasi moral. Mereka tidak lagi memiliki kebanggaan terhadap negaranya sendiri. Tetapi lebih menonjolkan sikap primordialisme. Sehingga rentan terjadi disintegrasi. Jika hal tersebut dibiarkan Bangsa Indonesia tinggal menunggu waktu kehancurannya. Karena itu pembangunan karakter bangsa sangat diperlukan.
Pemuda merupakan agent of change. Menurut Adhita Johan Rahmadan sosok seorang pemuda seharusnya sebagai berikut.    
Kaum muda dituntut untuk menyiapkan dirinya dengan segenap kemampuan. Kemampuan konsep yang dicerminkan oleh intelektualitas dan kemampuan riset, kompetensi di berbagai bidang (life skills and technical skills), kemampuan membangun jejaring (nasional dan internasional), serta kepercayaan diri untuk memimpin perubahan.
Predikat tersebut seharusnya dipahami oleh setiap pemuda agar mereka dapat meneruskan cita-cita dari para pendiri bangsa ini. Untuk itu, pemuda diharapkan dapat bersikap sebagai inisiator, motivator, dan organisator untuk melakukan perubahan[7]. Karena sesungguhnya pemuda memiliki peranan yang signifikan dalam pembangunan. Jika pemuda Indonesia masih bersikap seperti saat ini, Ibu Pertiwi akan tetap menangis.
Negara Indonesia tidak selamanya tetap bergantung pada golongan tua saja. Sirkulasi kepemimpinan akan tetap berlanjut karena itu sudah merupakan hukum alam. Sehingga pemuda harus mengetahui kriteria menjadi pemimpin yang mumpuni. Mengutip Elwin Tobing (Melalui Adhita Johan Rahmadan
: 2009), sedikitnya terdapat beberapa tanggung jawab yang harus diemban oleh siapapun yang mengklaim dirinya akan menjadi pemimpin nasional. Pertama, meneruskan komitmen terhadap perjuangan moral. Kedua, melanjutkan dan meningkatkan kualitas reformasi, karena reformasi sudah mulai mengalami pergerseran. Ketiga, mewujudkan kegemilangan masa depan atas masa lalu. Masa lalu bangsa ini ditandai dengan mismanagement sumberdaya alam dan manusia. Keempat, mewujudkan apa yang menjadi tuntutan rakyat. Selama beberapa dekade, rakyat telah menyaksikan banyak individu yang melakukan penyimpangan baik di bidang ekonomi, politik dan hukum.
      Begitu pentingnya peranan pemuda dalam membangun bangsa diharapkan kesadaran akan kebangsaan cepat tumbuh. Negara Indonesia pun menjadi negara yang kuat, baik itu dari dalam maupun dari luar. Sehingga amanah dari para pendiri negeri ini dapat terjaga dan dijalankan dengan baik. 







[1] Adhyatma, Aditya. 2011. “Nasionalisme Simbolik”. Diakses dari http://omjinadit.blogspot.com pada 10 Desember 2011.
[2] Ricklefs, M.C,  2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, hlm. 451.
[3] Ibid., hlm. 452
[4] Muladi, 2009, “Indonesia Masa Depan” dalam Dialog Pemuda dalam Membangun Bangsa 80 Tahun Sumpah Pemuda (Ed. Zulkifli Akbar, Karsono, dan Budiyanto), Jakarta: Kemenpora.hlm. 87
[5] Ibid., hlm. 92
[6] Ibid.,
[7] Adhyatma, Aditya, 2011, “Nasionalisme Simbolik”, Diakses dari http://omjinadit.blogspot.com pada 10 Desember 2011.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS