DINAMIKA MILITER DALAM KETATANEGARAAN RI


 Keterlibatan militer dalam kancah perpolitikan di Indonesia telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Kesadaran akan pentingnya peranan militer dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia telah tumbuh dalam jiwa para pemuda Indonesia. Mereka meminta kapada Soekarno selaku Presiden RI agar membentuk suatu badan militer. Kemudian pada tanggal 22 Agustus 1945 dalam sidang PPKI, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Anggota BKR diambil dari bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, dan kelompok lainnya.
 Pada tanggal 5 Oktober 1945, BKR berubah namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).[1] TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia pada 24 Januari 1946.[2] Pada tanggal 3 Juni 1947 TNI secara resmi dibentuk.[3] Anggotanya merupakan gabungan dari kesatuan biro perjuangan dengan pasukan senjata lainnya.
Orde Lama 1945-1965
Cholisin mengutip dalam bukunya Soebiyono Dwi Fungsi ABRI :Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia bahwa pada mulanya keterlibatan militer dalam politik bersifat covert political support terhadap politik Tan Malaka.[4] Tan Malaka melakukan perjuangannya melalui Persatuan Perjuangan (PP). Mereka sepakat dengan komitmen nasional dan strategi PP dalam mempertahankan negara dari Belanda serta sikap tidak suka atas perlakuan Syahrir terhadap tentara yang berasal di bekas serdadu PETA.
Tampak jelas bahwa tidak ada keserasian antara pemerintah sipil-militer. Keduanya saling tidak bisa menaruh kepercayaan. Pada tanggal 20 Mei 1946 pemerintah Syahrir membentuk Divisi Siliwangi dan Brigade Mobil Polisi sebagai bentuk penjagan bila sewaktu-waktu terjadi kudeta yang dilakukan oleh kelompok Tan Malaka. Kekhawatiran Syahrir terbukti. Pada tanggal 3 Juli 1946 PP dengan dibantu oleh Divisi III TRI dan Pasukan Banteng dari Yogyakarta melakukan penculikan terhadap Syahrir sebagai upaya Coup d’etat, tetapi dapat digagalkan oleh pasukan Divisi Siliwangi.[5]
Saat terjadi Agregsi Belanda, sebagian wilayah dikuasai termasuk Yogyakarta. Dalam situasi demikian, Panglima Besar Sudirman menginstruksikan kepada Angakatan Perang RI agar menghadapi Agresi Belanda dengan startegi yang telah diputuskan oleh Dewan Siasat Militer. Strategi tersebut antara lain, dibentuk pemerintahan PDRI di Bukit Tinggi, Sumatera dan sebagi bentuk penjagaan lapis ke 2, didirikan PDRI di India. Militer menginginkan pemerintah sipil pun ikut melakukan Perang Gerilya, tetapi hal tersebut tidak ditanggapi.
Perang Gerilya diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Roem-Royen. Keputusan tersebut membuat kecewa militer. Mereka yng merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan Negara. Karena mereka lahir dari suasana revolusioner Anggapan tersebut semakin mengidentifikasikan dirinya sebagai “kepentingan Negara” dan “kepentingan seluruh rakyat”. Karena itulah, sejatinya militer mempunyai hak otonom di dalam pemerntahan tetapi pada masa pemerintahan parlementer, PM Syahrir mengangkat Amir Syarifudin sebagai Menteri Pertahanan. Militer berada dibawah kekuasaan sipil.    
Sebagai bentuk pernyataan di atas, dalam menghadapi perang kemerdekaan militer tidak hanya bergerak dibidangnya tetapi juga di bidang ekonomi, yakni menerapkan gerilya ekonomi. Hal tersebut bertujuan untuk mengrongrong system perekonomian panjajah dan untuk membiayai parang dan revolusi. Misalnya, Laskar Rakyat Jakarta Raya mengendalikan ekonomi dengan memblokade kota Karawang supaya beras daerah ini tidak bisa di ekspor ke Jakarta yang telah dikuasai Belanda.
Awal 1950 keterlibatan militer dalam pemerintahan menurun. Pada sat iru militer ditempatkan sebagai instrumental force. Tetpi situasi ini tidak berlangsung lama karena militer sendiri terlibat dalam krisis politik pada “Peristiwa 17 Oktober 1952”. Pada peristiwa ini, militewr menuntut dibubarkannya Dewan Perwakilan Sementara. Kerana menurut pandangan mereka DPRS telah merugikan militer.[6]
Keterlibatan militer dalam pemerintahan baru diakui secara resmi saat Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 6 Mei 1957.  Dewan Nasional dibentuk bertujuan membantu kabinet dalam menjalankan program kerjanya. Menurut Adna Buyung, sikap militer tersebut sebenarnya hanya ingin mengurang pengaruh partai politik dan mendesak pemerintah agar kembali pada UUD 1945.  Inilah jalan memasuki masa Demokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 10 Februari 1958 Mayor Jenderal Nasution membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). FNPIB terdiri dari buruh, tani, pemuda dan militer. Tujuan resminya membebaskan Irian Barat dari Belanda dan tujuan lainnya sebagi alat politik Angkatan Darat untuk mendorong paham demokrasi terpimpin berdasarkan UUD 1945[7].    
FNPIB mempunyai pengaruh yang kuat, bisa menyaingi partai politik terutama PKI. Situasi tersebut membuat khawatir Presiden Soekarno. Sehingga pada bulan Desember 1959 dibentuk Front Nasional (FN). FN terdiri atas partai politik dan golongan fungsional.[8] Antara militer dan PKI saling berebut pengaruh. PKI berhasil menguasai bi tingkat provinsi dan kabupaten. Sehingga membuat mereka leluasa bergerak. Puncaknya terjadinya pemberontakan G30S/PKI. Militer berperan aktif dan mulai mendominasi perkembangan politik selanjutnya.  
Orde Baru  1966-1980
Indonesia memasuki babak politik baru pasca kegagalan kudeta 1965 yang menandai runtuhnya keseimbangan tiga actor politik utama (Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI) dengan kehancuran PKI dan semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno.[9] Perubahan tersebut pertanda bahwa angkatan darat sebagai kekuatan tunggal, partai politik seakan-akan kehilangan kekuatannya. Angkatan Darat dianggap sebagai penyelamat oleh rakyat karena berhasil menumpas pemberontakan G30S/PKI.
Anggapan tersebut semakin menguatkan posisi militer dalam kancah politik, kesempatan tersebut tidak mereka sia-siakan. Militer langsung mengambil beberapa kebijakan, diantaranya: pelembagaan dwifungsi ABRI, pengembangan sebuah system control internal atas institusi tentara, pengembangan system kontol eksternal terhadap lembaga dan kekuatan politik lain. Kebijakan pemerintah tersebut, menimbulkan adanya penguasan atas struktur pemerintahan dan birokrasi di kuasai oleh militer dan juga melakukan perlemahan terhadap partai politik, parlemen, serta lembaga-lembaga lain yang dianggap memiliki kekuasaan dalam politik.
Dalam lembaga eksekutif, data tahun 1980 ABRI memiliki prosentase yang tinggi dalam mendduduki jabatan-jabatan sipil, yaitu duta besar (44,4%), gubernur (70 %), dan bupati (56,6 %). Sedangkan proporsi perwira militer dan eselon I diperoleh data sebagai berikut: 46,6 % dalam cabinet Ampera yang disempunakan terdiri dari 18 departemen, 39,65% dalam cabinet Pembangunan II yang terdiri dari 17 departemen, dan 44,99% dalam cabinet Pambangunan III yang terdiri dari 17 departemen.
Sementara dalam lembaga legislative, militer memiliki 100 orang wakil yang duduk di kursi DPR tanpa harus mengikuti pemilu. Kursi diberikan secara Cuma-Cuma sebanayk 20 % dari keseluruhan kursi DPR.
            Pada masa ini, militer digunakan sebagi penguat pengaruh dalam partai politik (Golkar).  Dominasi ABRI dalam kepemimpinan Golkar, 28 dari 2 anggota ABRI masuk dalam DPR. Antara bulan Agustus dan Oktober 1988, seratus dua puluh perwira militer terpilih menjadi pemimpin Golkar daerah. Hampir 70% wakil daerah dalam kongres nasional Golkar dijabat oleh ABRI, baik yang aktif maupun pensiunan.
            Akibat dari dominasi militer dalam pemerintahan, pranan sipil dalam politik menjadi termarjinalkan. Militer telah menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat dan Negara. Perkembangan seperti ini memperparah hubungan natara sipil-militer. Kondisi ini menyebabkan menurunnya citra dan kredibilitas militer sebagai kekuatan pertahanan.
Era Reformasi
Pada masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru, suara-suara ketidakpusaan rakyat terhadap pemerintah dan militer muncul ke permukaan yang membawa Indonesia menuju masa Reformasi. Reformasi menuntut adanya pembaharuan di berbagai bidang kehidupan rakyat dan Negara. Reformasi banyak menyoroti posisi ABRI, baik sebagai kekuatan hankam maupun social politik. Rakyat mengkritisi posisi Abri bukan lagi sebagai pelindung rakyat melainkan sebagi alat negar untuk kepentingan kekuasaan semata.
     Secara konkrit, perubahan dilakukan dengna mengurangi jumlah kursi ABRI di DPR, dari 100 menjadi 75 kursi, dan dari 75 menjadi 38 kursi atas dasar UU susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru. Perubahan dalam dalam lembaga eksekutif, anggota ABRI yang duduk di pemerintahan pusat maupun daerah harus memilih antara tetap manjadi anggota ABRI atau tetap duduk di pemerintahan yang berate harus mengundurkan diri dari kedinasan ABRI. Pengambilan keputusan diberi batas waktu sampai awal April 1999.
Pada tanggal 1 April 1999 dilakukan pemisahan antara Polri dan ABRI sebagi upaya untuk mempertajam fungsi masing-masing dengan pemisahan tersebut diharapkan baik Polri maupun ABRI dapa bekerja secara profesional.            

Sumber:
 Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Pro Demokrasi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
 Yulianto, Dwi. 2005. Militer dan Kekuasaan Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi.
Gumelar, Agum. 1999. Hubungan Sipil-Militer:Peran, Kontribusi, dan Tanggung jawab Sipil-Militer dalam Penyelenggaraan Negara. Jakarta: Grassindo.


[1] Yulianto, Dwi Pratomo., Militer dan Kekuasaan Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, hlm 76
[2] Ibid., hlm 87
[3] Ibid., hlm 89
[4] Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Pro Demokrasi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.,  hlm 26
[5] Ibid., hlm 27
[6] Ibid., hlm 31
[7] Adnan Buyung yang dikutip dari Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Pro Demokrasi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, hlm. 34
[8] Cholisin, op.cit;.,  hlm 34
[9] Yulianto, Dwi Pratomo., Militer dan Kekuasaan Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, hlm 33-34

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar